mungkin kita sangat tabu mendengar kata-kata itu. Sampai-sampai kita enggan berteman ataupun dekat dengan yang namanya pelacur. Tetapi bagaimana kita sebagai orang Kristen menyikapi hal tersebut. Apakah pelacur bukan manusia yang juga butuh perhatian dan bimbingan untuk dapat keluar dari tindakan itu???
Mari kita lihat pandangan Alkitab mengenai pelacur ini, agar kita mampu mengungkapkan dan bertindak bagi saudara-daudari kita.
Pelacuran dalam Perjanjian
Lama
Dalam Perjanjian Lama kata yang lazim digunakan untuk
pelacuran adalah zanah…dalam bahasa Inggris dipakai kata harlot
yang artinya “berzinah, pelacur, sundal”.[1] Pelacuran sudah
dikenal sejak zaman Israel Kuno, hal ini dapat kita lihat dalam Kejadian 38:15,
Hakim-hakim11:1. Pelacuran juga ditemukan di Kanaan (Yos.2:1), di negeri
Filistin (Hak. 16:1) dan di negeri lain (Amsal 2:16;29:3). Pemakaian kata zanah
ditujukan kepada seseorang yang melakukan hubungan seksual di luar
perjanjian hubungan pernikahan. Segala bentuk hubungan seksual seorang
perempuan atau laki-laki di luar perkawinan yang terikat, maka disebut juga
perzinahan.[2]
Sebenarnya kata zanah memiliki beberapa arti yakni,
berzinah dengan maksud melambangkan ketidaksetiaan umat Israel kepada
Yahwe dan berpaling dari padanya dan menyembah ilah lain (Ba’al) (Imamat
17:7;20:5; 2 Tawarikh 21:11,13). Nabi Hosea bahkan menggambarkan hubungan
antara bangsa Israel dengan
Yahwe sebagai hubungan suami/istri dimana istrinya (Israel ) berzinah dengan ilah-ilah
lain. Allah tidak menyukai perbuatan bangsa Israel yang tidak setia pada
perjanjian kesetiaan antara Allah dengan bangsaNya.
Di pihak lain istilah zanah juga dipakai untuk
menyatakan hubungan seksual di luar perkawinan dan pemujaan di luar perjanjian
(Bil. 25:1;Hos.4:13). Berpaling dari Yahwe dihubungkan juga dengan pemujaan
terhadap dewi kesuburan di kota
Kanaan (agama orang-orang Kanaan) yang disebut dengan pelacur suci. Di dalam
tradisi Kanaan merupakan hal yang umum melakukan hubungan seksual di luar
perkawinan asalkan hubungan seks tersebut dilakukan kepada dewa-dewa kesuburan
dengan harapan ada imbalan bagi perempuan yang melakukan hubungan seks dengan
dewa yakni upah pekerjaan mereka berlipat ganda. Para
perempuan ini disebut sebagai “q’dheshah” yaitu pelacur suci.[3]
Kisah tertua tentang pelacuran dalam Alkitab dapat
kita pelajari dari Kej. 38:12-30 yang berpusat pada 2 karakter anak manusia
yakni seorang perempuan muda yang bernama Tamar dan mertuanya Yehuda yakni
salah satu dari 12 anak-anak Yakub yang merupakan keturunan bapa leluhur Israel
yaitu Abraham. Kisah Yehuda dan Tamar ini terjadi sekitar abad 17 SM yang
dikisahkan melalui kisah yang berulang-ulang sebelum akhirnya dituliskan.[4]
Yehuda setelah ditinggal mati istrinya, akhirnya
mengakhiri masa berkabungnya dengan pergi ke tempat pengguntingan bulu domba di
kota Timna.
Adapun Tamar adalah menantunya yang juga telah ditinggal mati suaminya yaitu
anak-anak Yehuda. Tamar menikahi anak pertama Yehuda yaitu Er. Er meninggal lau
digantikan oleh Onan namun Onan juga mati, lalu Yehuda menjanjikan anaknya
Syela untuk Tamar. Janji ini belum terpenuhi ketika Yehuda menyuruh Tamar
kembali kepada orang tuanya. Tamar kecewa dengan tindakan Yehuda karena dia
ingin memiliki keturunan dari keluarga Yehuda untuk meyakinkan statusnya.
Ketika Tamar mendengar bahwa mertuanya pergi ke kota Timna, dia lalu menyamar menjadi seorang
pelacur. Adapun kota Timna adalah kota pelacuran, di kota
ini banyak ditemukan pelacuran di kuil-kuil sebagai tradisi yang melekat dari
orang-orang Kanaan. Dengan menanggalkan pakaian berkabungnya dan memakai
telekung supaya mertuanya tidak mengenalinya Tamar pergi ke Timna. Antara
Yehuda dan Tamar terjadi tawar-menawar
bayaran sebelum mereka melakukan perzinahan. Dari hasil incest tersebut Tamar
mengandung dan Yehuda mempertanggung jawabkanya.
Pelacuran Tamar mempunyai tujuan agar ia memiliki
kepastian atas haknya yang sah dari keluarga Yehuda. Sedangkan Yehuda datang ke
pelacuran demi memuaskan nafsu birahinya dan untuk itu dia memberi imbalan
kepada perempuan yang bekerja sebagai pemuas nafsu seksnya. Meskipun pelacuran
atau perzinahan yang dilakukan keduanya telah mengakibatkan incest karena Tamar
masih terikat perkawinan dengan Syela namun Yehuda dapat menerima Tamar dan
anak-anak yang dikandungnya menjadi anak-anaknya.[5] Dalam
Perjanjian Lama larangan untuk berbuat zinah dengan tegas dituliskan di dalam
Hukum Taurat (Kel. 20:14;Im. 5:18) dan pezinah yang tertangkap akan diganjar
dengan hukuman mati (Im. 21:22), hukuman ini berlaku untuk laki-laki dan
perempuan.
Pelacuran dalam Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru istilah “mikhenein” mempunyai
pengertian zinah beberapa kali dipakai untuk menjelaskan perbuatan atau
hubungan seks antara seorang laki-laki yang sudah beristri dengan seorang
perempuan yang sudah bersuami (Mat. 5:27;19:18; Mrk. 10:19; Luk. 18:20; Rm.
13:9). Kata yang berbeda dengan pengertian yang sama yaitu “phorneiai” yang
artinya juga berzinah atau percabulan. Kata ini yang digunakan untuk
menerangkan pelacuran yang tentunya berhubungan erat dengan zinah (Mat.
15:19;19:9; 1Kor. 6:15).[6]
Larangan-larangan untuk berzinah dan melakukan
percabulan di Perjanjian Baru dilatar belakangi dari pengaruh tradisi-tradisi
Yunani yang biasa melakukan pelacuran. Masyarakat primitif Yunani menerima para
musafir yang menetap sementara dengan suguhan perempuan-perempuan terlatih
untuk memuaskan nafsu seks para musafir tersebut tentunya dengan memberi
bayaran yang tinggi. Bayaran mereka dipungut oleh pejabat tertentu, setelah
mengadakan potongan keamanan dan biaya pelestarian usaha, barulah sisanya yang
sebagian kecil diserahkan kepada para perempuan tersebut. [7] Hal-hal inilah
yang melatar belakangi Paulus menasehati jemaatnya untuk tidak hidup dan terpengaruh
dalam percabulan (1 Kor. 6:12-20).
GOD BLESS
By : Ngamani
Shared : Ohiizzt
[1] Owens, Analytical Key
to the Old Testament Vol 1,Genesis-Joshua, Grand Rapids Michigan :
Baker Book House, p., 173
[4] Nils Johan Ringda, Love
for sale a word history of prostitution, New York : Grove Press, 2004, p., 26
[5] Jhon Peter Lange, Commentary
On The Holy Scriptures (Genesis), USA :
Grand Rapids , Michigan , n. y., p., 592-593
[6] Gerhard Kittel,
Gerhard Friedrich (ed), Theological
Dictionary of the New Testament, Germany : WM. B. Eerdmans
Publishing, 1975, p., 734
Tidak ada komentar:
Posting Komentar