Selasa, 11 Oktober 2011

Apa kata ALKITAB tentang PELACUR ????

PELACUR ????
mungkin kita sangat tabu mendengar kata-kata itu. Sampai-sampai kita enggan berteman ataupun dekat dengan yang namanya pelacur. Tetapi bagaimana kita sebagai orang Kristen menyikapi hal tersebut. Apakah pelacur bukan manusia yang juga butuh perhatian dan bimbingan untuk dapat keluar dari tindakan itu???
Mari kita lihat pandangan Alkitab mengenai pelacur ini, agar kita mampu mengungkapkan dan bertindak bagi saudara-daudari kita.


Pelacuran dalam Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama kata yang lazim digunakan untuk pelacuran adalah zanah…dalam bahasa Inggris dipakai kata harlot yang artinya “berzinah, pelacur, sundal”.[1] Pelacuran sudah dikenal sejak zaman Israel Kuno, hal ini dapat kita lihat dalam Kejadian 38:15, Hakim-hakim11:1. Pelacuran juga ditemukan di Kanaan (Yos.2:1), di negeri Filistin (Hak. 16:1) dan di negeri lain (Amsal 2:16;29:3). Pemakaian kata zanah ditujukan kepada seseorang yang melakukan hubungan seksual di luar perjanjian hubungan pernikahan. Segala bentuk hubungan seksual seorang perempuan atau laki-laki di luar perkawinan yang terikat, maka disebut juga perzinahan.[2]
Sebenarnya kata zanah memiliki beberapa arti yakni, berzinah dengan maksud melambangkan ketidaksetiaan umat Israel kepada Yahwe dan berpaling dari padanya dan menyembah ilah lain (Ba’al) (Imamat 17:7;20:5; 2 Tawarikh 21:11,13). Nabi Hosea bahkan menggambarkan hubungan antara bangsa Israel dengan Yahwe sebagai hubungan suami/istri dimana istrinya (Israel) berzinah dengan ilah-ilah lain. Allah tidak menyukai perbuatan bangsa Israel yang tidak setia pada perjanjian kesetiaan antara Allah dengan bangsaNya.
Di pihak lain istilah zanah juga dipakai untuk menyatakan hubungan seksual di luar perkawinan dan pemujaan di luar perjanjian (Bil. 25:1;Hos.4:13). Berpaling dari Yahwe dihubungkan juga dengan pemujaan terhadap dewi kesuburan di kota Kanaan (agama orang-orang Kanaan) yang disebut dengan pelacur suci. Di dalam tradisi Kanaan merupakan hal yang umum melakukan hubungan seksual di luar perkawinan asalkan hubungan seks tersebut dilakukan kepada dewa-dewa kesuburan dengan harapan ada imbalan bagi perempuan yang melakukan hubungan seks dengan dewa yakni upah pekerjaan mereka berlipat ganda. Para perempuan ini disebut sebagai “q’dheshah” yaitu pelacur suci.[3]
Kisah tertua tentang pelacuran dalam Alkitab dapat kita pelajari dari Kej. 38:12-30 yang berpusat pada 2 karakter anak manusia yakni seorang perempuan muda yang bernama Tamar dan mertuanya Yehuda yakni salah satu dari 12 anak-anak Yakub yang merupakan keturunan bapa leluhur Israel yaitu Abraham. Kisah Yehuda dan Tamar ini terjadi sekitar abad 17 SM yang dikisahkan melalui kisah yang berulang-ulang sebelum akhirnya dituliskan.[4]
Yehuda setelah ditinggal mati istrinya, akhirnya mengakhiri masa berkabungnya dengan pergi ke tempat pengguntingan bulu domba di kota Timna. Adapun Tamar adalah menantunya yang juga telah ditinggal mati suaminya yaitu anak-anak Yehuda. Tamar menikahi anak pertama Yehuda yaitu Er. Er meninggal lau digantikan oleh Onan namun Onan juga mati, lalu Yehuda menjanjikan anaknya Syela untuk Tamar. Janji ini belum terpenuhi ketika Yehuda menyuruh Tamar kembali kepada orang tuanya. Tamar kecewa dengan tindakan Yehuda karena dia ingin memiliki keturunan dari keluarga Yehuda untuk meyakinkan statusnya. Ketika Tamar mendengar bahwa mertuanya pergi ke kota Timna, dia lalu menyamar menjadi seorang pelacur. Adapun kota Timna adalah kota pelacuran, di kota ini banyak ditemukan pelacuran di kuil-kuil sebagai tradisi yang melekat dari orang-orang Kanaan. Dengan menanggalkan pakaian berkabungnya dan memakai telekung supaya mertuanya tidak mengenalinya Tamar pergi ke Timna. Antara Yehuda dan Tamar terjadi  tawar-menawar bayaran sebelum mereka melakukan perzinahan. Dari hasil incest tersebut Tamar mengandung dan Yehuda mempertanggung jawabkanya.
Pelacuran Tamar mempunyai tujuan agar ia memiliki kepastian atas haknya yang sah dari keluarga Yehuda. Sedangkan Yehuda datang ke pelacuran demi memuaskan nafsu birahinya dan untuk itu dia memberi imbalan kepada perempuan yang bekerja sebagai pemuas nafsu seksnya. Meskipun pelacuran atau perzinahan yang dilakukan keduanya telah mengakibatkan incest karena Tamar masih terikat perkawinan dengan Syela namun Yehuda dapat menerima Tamar dan anak-anak yang dikandungnya menjadi anak-anaknya.[5] Dalam Perjanjian Lama larangan untuk berbuat zinah dengan tegas dituliskan di dalam Hukum Taurat (Kel. 20:14;Im. 5:18) dan pezinah yang tertangkap akan diganjar dengan hukuman mati (Im. 21:22), hukuman ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan.

Pelacuran dalam Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru istilah “mikhenein” mempunyai pengertian zinah beberapa kali dipakai untuk menjelaskan perbuatan atau hubungan seks antara seorang laki-laki yang sudah beristri dengan seorang perempuan yang sudah bersuami (Mat. 5:27;19:18; Mrk. 10:19; Luk. 18:20; Rm. 13:9). Kata yang berbeda dengan pengertian yang sama yaitu “phorneiai” yang artinya juga berzinah atau percabulan. Kata ini yang digunakan untuk menerangkan pelacuran yang tentunya berhubungan erat dengan zinah (Mat. 15:19;19:9; 1Kor. 6:15).[6]
Larangan-larangan untuk berzinah dan melakukan percabulan di Perjanjian Baru dilatar belakangi dari pengaruh tradisi-tradisi Yunani yang biasa melakukan pelacuran. Masyarakat primitif Yunani menerima para musafir yang menetap sementara dengan suguhan perempuan-perempuan terlatih untuk memuaskan nafsu seks para musafir tersebut tentunya dengan memberi bayaran yang tinggi. Bayaran mereka dipungut oleh pejabat tertentu, setelah mengadakan potongan keamanan dan biaya pelestarian usaha, barulah sisanya yang sebagian kecil diserahkan kepada para perempuan tersebut. [7] Hal-hal inilah yang melatar belakangi Paulus menasehati jemaatnya untuk tidak hidup dan terpengaruh dalam percabulan (1 Kor. 6:12-20).


Nah.....
Bagimana???? Sudah taukah kita mengenai pandangan Alkitab mengenaii Pelacuran??? Sekarang kembali kepada diri kita...
biarlah diri kita KUDUS seperti ALLAh kita juga kudus.

GOD BLESS

By : Ngamani 
Shared : Ohiizzt 

[1] Owens, Analytical Key to the Old Testament Vol 1,Genesis-Joshua, Grand Rapids Michigan: Baker Book House, p., 173
[2]
[3] Henry M. Morris, The Genesis Book, Michigan: Baker Book House, 1998, p., 553
[4] Nils Johan Ringda, Love for sale a word history of prostitution, New York: Grove Press, 2004, p., 26
[5] Jhon Peter Lange, Commentary On The Holy Scriptures (Genesis), USA: Grand Rapids, Michigan, n. y., p., 592-593
[6] Gerhard Kittel, Gerhard  Friedrich (ed), Theological Dictionary of the New Testament, Germany: WM. B. Eerdmans Publishing, 1975, p., 734
[7] Simone De Beauvoir, Second Sex, Pustaka Promethean, 2003, hlm., 130

Tidak ada komentar:

Posting Komentar